Studi politik internasional yang berkembang di benua eropa pada awal tahun 1920, tepatnya di Inggris yang di temukan oleh para ilmuwan telah membuat sejarah baru bagi ilmu hubungan internasional. Sebelum terjadinya perang dunia pertama, studi hubungan internasional hanya berorientasi pada sejarah diplomasi dan hukum internasional, namun setelah perang dunia pertama berakhir kajian internasional berkembang secara komprehensif dan sistematik. Ilmu yang mempelajari interaksi dari berbagai macam individu dari berbagai macam belahan bumi telah menambahkan perspektif baru seperti realisme, idealisme, feminisme dan perspektif-perspektif baru lainnya dalam sistem politik internasional. Seperti yang telah kita ketahui, sejak dimulainya perang dunia pertama sudah terlihat adanya negara-negara yang mendominasi diantara negara lainnya yang terlibat perang seperti Amerika Serikat. Hal ini menunjukkan bahwa adanya suatu power yang mereka miliki untuk memenuhi kepentingan nasional mereka dengan menggunakan berbagai macam cara.
Realisme pada dasarnya didasarkan pada anggapan bahwa hubungan internasional bersifat konfliktual, konflik antar negara pasti terjadi sebagai manivestasi dari sifat dasar manusia yang selalu tidak pernah puas. Realis memandang sifat dasar manusia pada dasarnya buruk, dan hal tersebut tidak dapat diubah. Konflik yang terjadi antar negara itu kemudian
memaksa negara lemah tunduk pada negara kuat. Konsep inilah yang kemudian mendorong munculnya istilah “keadilan adalah hak bagi mereka yang lebih kuat”, “Justice is the right of the stronger”. Dalam Politics among Nations: Struggle for Power and Peace, Hans J. Morgenthau menuliskan enam prinsip realisme politik yang ditulis oleh J. Ann Tickner: A Critique of Morgenthau’s Principles of Political Realism.
memaksa negara lemah tunduk pada negara kuat. Konsep inilah yang kemudian mendorong munculnya istilah “keadilan adalah hak bagi mereka yang lebih kuat”, “Justice is the right of the stronger”. Dalam Politics among Nations: Struggle for Power and Peace, Hans J. Morgenthau menuliskan enam prinsip realisme politik yang ditulis oleh J. Ann Tickner: A Critique of Morgenthau’s Principles of Political Realism.
1. Politics like society in general, is governed by objective laws that have their roots in human nature, which unchanging; therefore it is possible to develop a rational theory that reflects these objective laws.
2. The main signpost of political realism is the concept of interest defined in term of power which infuses rational order into the subject matter of politics, and thus makes the theoretical understanding of politics possible. Political realism stresses the rational, objective and unemotional.
3. Realism assumes that interest defined as power is an objective category which is universally valid but not with a meaning that is fixed once and for all. Power is control of man over man.
4. Political realism is aware of the moral significance of political actions. It is also aware of the tension between moral command and the requirements of successful political actions.
5. Political realism refuses to identify the moral aspirations of particular nations with the moral laws that govern the universe. It is the concept of interest defined in terms of power that saves us from moral excess and political folly.
6. The political realist maintains of the political sphere
Aktor utama dari perspektif realisme ini adalah individu-individu yang telah di wakilkan oleh negara.Setiap individu yang memiliki kepentingan berbeda serta berusaha untuk memenuhi kepentingannya tersebut dapat direfleksikan dengan interaksi suatu negara dengan negara yang lain.
Dari adanya kepentingan nasional yang berbeda dari setiap negara, maka akan tercipta sebuah power karena perjuang dari tiap negara untuk memenuhi kepentingan mereka. Namun kepentingan nasional dari tiap negara tidak selalu sama di setiap waktunya tergantung pada waktu dan lingkungannya. Kebijakan luar negeri mereka pun berbeda karena mengikuti kepentingan negara yang ingin mereka capai, dan power merupakan tujuan utama mereka. Terkadang muncul pengaturan kekuasaan yang anarki atau tanpa pemerintahan internasional karena tidak adanya pembagian kekuasaan yang sama antar tiap negara sehingga memunculkan konflik yang berakhir dengan perang.
Robert Dahl, yang merupakan seorang realis mengungkapkan bahwa kapabilitas suatu negara banyak di tentukan oleh sejumlah power yang dimilikinya. Yang dimaksud dengan power menurut Robert Dahl adalah sebagai suatu atribut yang melekat secara langsung pada suatu negara ketika ia dibandingkan dengan negara lain dan kemampuan suatu negara untuk membuat negara lain melakukan sesuatu yang semula tidak diinginkannya. Power tersebut muncul karena wilayah distribusi geografi yang tidak seimbang seperti jumlah sumber daya alam, populasi masyarakat, kekuatan ekonomi dan faktor-faktor lainnya. Sedangkan power menurut Marxisme ditentukan oleh dominasi kelas yang lebih tinggi kepemilikan faktor produksi untuk bisa menindas kelas marjinal.
Salah satu konsep power dalam realis adalah balance of power. Balance of power adalah sistem politik untuk mencapai adanya persamaan kekuatan antara negara-negara di dunia, sehingga suatu negara dapat mengimbangi kekuatan negara lain. Definisi balance of power menurut Hans J. Moerganthau meliputi empat poin yaitu sebuah kebijakan yang dimaksudkan untuk urusan negara, masalah negara yang obyektif dan faktual, distribusi power yang seimbang antar negara, serta distribusi power antar negara namun ada satu kekuasaaan yang lebih besar daripada lainnya. Dapat dilihat bahwa dengan adanya balance of power terdapat distribusi power, hegemoni, kestabilan dan perdamaian maupun ketidakstabilan dan perang serta kekuatan politik secara umum.
Republik Rakyat Cina menjadi salah satu negara super power baru di era ini. Cina menjadi perwakilan Asia yang menduduki Dewan Keamanan Tetap PBB. Selain itu, Cina juga merupakan negara “bernuklir” dengan memiliki tentara terbesar di dunia dengan anggaran militer ke-4 terbesar setelah Amerika, Prancis dan Inggris. Selama tahun 1980 sampai 2005, pertumbuhan rata-rata ekonomi Cina lebih dari 10% (jauh melampau pertumbuhan ekonomi dunia). Ini membawa Cina sebagai negara dengan pertumbuhan ekonomi terdashyat di abad ini. Cina saat ini menduduki posisi ke-2 dalam jumlah ekspornya dan urutan ke-3 dari jumlah impor. Berbagai perkembangan inilah yang menjadikan China sebagai kekuatan yang hadir sebagai lawan utama hegemoni dunia yaitu Amerika Serikat.
Transformasi China menjadi salah satu negara yang mulai mendapat sorotan dalam sistem internasional terjadi ketika Cina mulai mengadopsi kebijakan yang pragmatis dengan menjadikan ekonomi domestik sebagai fokus utama politik luar negerinya. Cina mulai menerapkan “Open Door Policy”. Berbagai perubahan total dilakukan pada masa ini, baik perubahan yang sifatnya domestik maupun perubahan dengan melibatkan sistem internasional. Pada sisi domestik, peningkatan pertumbuhan ekonomi domestik menjadi fokus utama politik luar negeri Cina. Pada sisi internasional, Cina mulai menjalin hubungan baik dengan dunia internasional untuk menjamin terciptanya lingkungan yang indusif bagi pertumbuhan ekonominya. Cina sebagai salah satu “great power” mulai diperhitungkan.
Sekarang, arah politik luar negeri Cina pun semakin jelas yaitu menciptakan situasi internasional yang kondusif bagi pertumbuhan ekonominya dengan cara menghindari konfrontasi yang ada. Partisipasi aktif Cina dalam institusi internasional pun makin terasa, terutama melalui kebergabungan Cina dalam World Trade Organization (WTO) pada 2001. Walaupun Cina semakin aktif dalam berbagai bentuk kerja sama kawasan dan internasional, bukan berarti Cina banyak memberikan komitmen yang bersifat mengikat pada institusi-institusi ini. Jika dicermati lebih lanjut, dalam segala bentuk partisipasinya melalui institusi regional dan global, Cina jarang sekali memberikan komitmen yang dapat mengikat kebebasan Cina sebagai negara yang non-konfrontatif. Cina cenderung mengambil posisi aman sambil tetap memfokuskan diri pada usaha pembangunan ekonomi nasionalnya.
Cina kini lebih melihat pencapaian pertumbuhan ekonomi domestik sebagai tujuan utama politik luar negeri yang diterapkannya. Adapun untuk mencapai pertumbuhan ekonominya, China terus membangun hubungan baik dengan semua negara; Cina juga cenderung menghindari konflik dengan negara-negara dunia, dan karenanya permasalahan keamanan merupakan hal yang sensitif bagi Cina. Cina lebih suka menyembunyikan cahayanya dengan menjalankan prinsip-prinsip non-intervensi dan non-konfrontasi yang di wujudkan oleh “peaceful rise”, yang kemudian dijadikan salah satu bentuk politik luar negeri Cina. Bentuk politik luar negeri Cina dengan mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan cenderung menghindari konfrontasi tersebut menunjukkan upaya China dalam meraih dua hal sekaligus, yaitu pemenuhan kepentingan nasional melalui pertumbuhan ekonomi domestiknya, serta penciptaan status sebagai “great power” yang cinta damai dan tidak hegemon di sistem internasional. Kemajuan pesat yang dialami oleh Cina telah mengalahkan perkembangan Amerika Serikat yang sudah menjadi negara adidaya sejak berakhirnya perang dunia kedua. Hal ini menunjukan bahwa Cina sedang menunjukkan powernya terhadap negara-negara lainnya dan mendominasi power yang selama ini di pegang oleh Amerika Serikat. Setiap negara selalu mencoba untuk berada diatas power negara lainnya sehingga mereka dapat mengontrol negara lain seperti dalam bidang keamanan. Sama seperti Cina yang berusaha terus memajukan powernya agar tetap berada di posisi teratas sehingga dapat menciptakan sistem internasional sesuai dengan kepentingan nasional negaranya.
Sekarang, arah politik luar negeri Cina pun semakin jelas yaitu menciptakan situasi internasional yang kondusif bagi pertumbuhan ekonominya dengan cara menghindari konfrontasi yang ada. Partisipasi aktif Cina dalam institusi internasional pun makin terasa, terutama melalui kebergabungan Cina dalam World Trade Organization (WTO) pada 2001. Walaupun Cina semakin aktif dalam berbagai bentuk kerja sama kawasan dan internasional, bukan berarti Cina banyak memberikan komitmen yang bersifat mengikat pada institusi-institusi ini. Jika dicermati lebih lanjut, dalam segala bentuk partisipasinya melalui institusi regional dan global, Cina jarang sekali memberikan komitmen yang dapat mengikat kebebasan Cina sebagai negara yang non-konfrontatif. Cina cenderung mengambil posisi aman sambil tetap memfokuskan diri pada usaha pembangunan ekonomi nasionalnya.
Cina kini lebih melihat pencapaian pertumbuhan ekonomi domestik sebagai tujuan utama politik luar negeri yang diterapkannya. Adapun untuk mencapai pertumbuhan ekonominya, China terus membangun hubungan baik dengan semua negara; Cina juga cenderung menghindari konflik dengan negara-negara dunia, dan karenanya permasalahan keamanan merupakan hal yang sensitif bagi Cina. Cina lebih suka menyembunyikan cahayanya dengan menjalankan prinsip-prinsip non-intervensi dan non-konfrontasi yang di wujudkan oleh “peaceful rise”, yang kemudian dijadikan salah satu bentuk politik luar negeri Cina. Bentuk politik luar negeri Cina dengan mengedepankan pertumbuhan ekonomi dan cenderung menghindari konfrontasi tersebut menunjukkan upaya China dalam meraih dua hal sekaligus, yaitu pemenuhan kepentingan nasional melalui pertumbuhan ekonomi domestiknya, serta penciptaan status sebagai “great power” yang cinta damai dan tidak hegemon di sistem internasional. Kemajuan pesat yang dialami oleh Cina telah mengalahkan perkembangan Amerika Serikat yang sudah menjadi negara adidaya sejak berakhirnya perang dunia kedua. Hal ini menunjukan bahwa Cina sedang menunjukkan powernya terhadap negara-negara lainnya dan mendominasi power yang selama ini di pegang oleh Amerika Serikat. Setiap negara selalu mencoba untuk berada diatas power negara lainnya sehingga mereka dapat mengontrol negara lain seperti dalam bidang keamanan. Sama seperti Cina yang berusaha terus memajukan powernya agar tetap berada di posisi teratas sehingga dapat menciptakan sistem internasional sesuai dengan kepentingan nasional negaranya.
0 komentar:
Posting Komentar